Selasa, 23 Juni 2009

Jangan ambil gajiku

Assalamualaikum.....wr wb....hai..kaum yang bergaji kecil....dimanapun berada........janganlah sedih karena gajimu..kecil.....biarlah gajih kecil.....tapi bermanfaat dan nikmat....walaupun sedih..juga..sedih karena banyaknya potongan sehingga tak adalagi yang dibawa kehadapan istri tercinta......tapi yakinlah saudaraku Allah tak pernah melihat orang dari gede tidak gajinya tapi dilihat dari gede tidak Imanya....... Berbahagialah jika gajimu yang kecil itu hasil dari aniyaya orang lain atau dengan kata lain penyebabnya adalah oranglain atau atasan yang ngakalin kalian agart gaji kalian kecil.... dan gaji mereka yang luar biasa bagaikan langit dan bumi jauhnya...tak usah sedih....kita jamin..mereka tak..akan menikmatinya...paling...gaji mereka itu juga abis dimakan penyakit.....atau masalah keluarga yang mengerogotinya.....lihat saja saudarakau apa kalian melihat mereka membayar zakat...atau berqurban......atau beramal salehh......untuk berbagi dengan sesama..tidak karena uang...mereka habis..untuk mengurusinya nafsunya saja........bahkan ya.....ada yang lebih ngeri.......mereka...itu menuhankan jabatan.....karena takut sekali berpindah..posisi...atau berhenti dari jabatanya...itu.. bukankah yang...demikian itu musrik.....ya....idih...naudzubillah mindzaliq....ternyata mereka lebih bejat dari.....dari kita2.....a....biarlah nanti Allah saja yang menghukum mereka apalagituh...ada oknum...pejabat....kayak..dari ngebocorin...UAN......amit-amit..jabang bayi gak tau apaitu dosa....kali ya........tapi lagunya merasapaling...beriman...penghancur dunia pendidikan...itu harus diberantas...tu yang kayak gitu...jangan dipelihara.........Sumpah orang itu meracuni generasi muda...karena membius anak muda dengan keberhasilan semu..padahal..itu hasil curang...yang nyata..........

Senin, 04 Mei 2009

konstruktif Konflik


Konflik bisa diartikan pertentangan yang mengarah pada kemauan masing-masing pihak untuk menjatuhkan lawan. Dalam konflik ini ada dua belah pihak yang bertentangan yaitu; Kontra dan Pro (kita sendiri atau orang yang berpihak pada kita), Kontra sering disebut lawan siapakah yang dimaksud dengan lawan apakah anda yakin kalau lawan itu benar-benar akan merugikan anda dan tidak ada manfaatnya untuk anda, disinilah kita harus punya stratetgi yang jitu untuk memanfaatkan lawan atau hal yang bertentangan dengan kita menjadi sesuatu yang positif, ambil hikmah daripada lawan misalnya, lawanlah yang menyebabkab kita tahu kesalahan kita karena dialah yang memberi tahu kita kalau sesuatu itu buruk maka hal itu bisa dijadikan bahan perbaikan diri bukankah itu positif, untuk kemajuan kita dan membuat kita menjadi lebih matang karena tahu apa kesalahan yang diperbuat sehingga kedepan kita tak berbuat dengan kesalahan yang sama begitu. Konflik adalah kenyataan hidup yang mau-tidak mau ada dihadapan kita menemani keseharian kita, dia ada dimana-mana; didalam diri kita, dirumah kita, ditempat kerja kita, bahkan ditempat tidur kita. Jadi jangan takut dengan yang namanya konflik walaupun begitu tak boleh dengan sengaja membuat konflik tapi kalau ada di depan mata itu adalah kenyataan yang harus dihadapi hingga bagaimana kita memposisikan diri. Mari kita lihat manfaat konflik :
1. Dengan adanya konflik masing-masing orang menjadi kreatif untuk memperbaiki diri agar
diri kita lebih baik dari yang lain.
2. Menjadikan kita lebih hati-hati dan waspada agar kita tidak menjadi sasaran empuk lawan.
3. Belajar mengendalikan diri supaya tidak terjebak oleh ulah kita sendiri.
4. Menjadikan diri kita menjadi pandai mengukur diri tentang apa yang kita inginkan, agar apa
yang kita inginkan itu Rasional.
5. Menjadikan kita lebih sadar bahwa kita tidak perlu terlalu menonjolkan diri kita karena
akan menyebabkan orang lain sakit hati.
6. Mendapat pelajaran berharga bahwa kalau kalah seperti apa rasanya dan tentu harus
introspeksi, kalau menang apa rasanya dan tak perlu menjadi euporia.

Kalau hal tersebut diatas kita kaji lebih mendalah dan bisa menekan ego masing-masing, maka konflik dapat membangun kedewasan dan kematangan seseorang hingga mereka sadar tentang perlunya kebersamaan membangun harmoni hidup untuk dapat dinikmatai bersama bukankah itu keindahan hidup berupa anugrah Allah swt. semoga tulisan ini dapat merupakan tambahan khasanah pengewtahuan

Kamis, 05 Februari 2009

Tulus

Tulus adalah kata yang sering kita dengar dalam ucapan sehari-hari baik dari mulut sorang teman kepada teman yang lain atau dari seorang pemimpin kepada anak buanya atau dari seorang ustadz kepada jamaahnya atau dari seorang guru kepada muridnya. tulus adalah kata-kata indah yang dinantikan sebagai penyejuk dikala kecewa databg menjenguk Misalnya ada orang bilang saya tulus iklas untuk bantu anda agar anda keluar dari kesulitan, tentu hal itu akan merupakan seteguk air dikala kita kehausan dipadang tandus. Ketulusan yang diberikan kepada seorang tentu akan membawa hikmah bagi keduanya bagai yang memberi dengan tulus atau membantu dengan tulus ia akan merasa tentram bathinya karena telah meringankan beban orang lain, bagi yang dibantu tentu ia akan senang dn berdoa untuk kesejahtaan orang yang membantunya. jika suatu lembaga dipenuhi oleh orang-orang tulus tentu lembaga itu akan penuh berkah dari pada lembaga itu dipenuhi oleh orang-orang yang perhitungan dalam masalah untung rugi. tentulah ketulusan ini dapat diukur oleh pandangan masyarakat umum orang yang tulus tanpa dibuat-buat akan terlihat dengan sendirinya. bila Ia seorang pemimpin tentu ia akan lebih dulu memberi contoh dalam perbuatan amal-soleh misalnya Infaknya rajin, Rajin memberi pada bawahan yang masih miskin seperi OB, pramubakti, bila melihat bawahan lagi kumpul bila ia ada rezeki tentu ia akan berbagi minimal martabaklah, bila datang Iedul adha maka ia akan berqurban lebih dulu dari pada orang lain tapi bukan pake uang lembaga lo ya..........Bila ia bisa bantu orang lain misalnya memberi pinjaman pada orang yg kesulitan bukan sebaliknya kalo bisa mempersulit bawahan kenapa harus mempermudah..........itulah pikiran orang yang gak tulus.....

Senin, 01 Desember 2008

asal nama Indonesia


Asal Nama Idonesia
PADA ZAMAN PURBA kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta "dwipa" (pulau) dan "antara" (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sita, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (‘kemenyan Jawa’), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil ‘Jawa’ oleh orang Arab. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi,” demikian kata seorang pedagang di Pasar Seng, Makkah, ketika dijelaskan kepadanya bahwa Indonesia bukanlah ‘Jawa’. “Sumatera, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa!”

Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Cina. Bagi mereka daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah ‘Hindia’. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut ‘Hindia Muka’ dan daratan Asia Tenggara dinamai ‘Hindia Belakang’, sedangkan tanah air kita memperoleh nama ‘Kepulauan Hindia’ (Indische Archipel; Indian Archipelago; l’Archipel Indien) atau ‘Hindia Timur’ (Oost Indie; East Indies; Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah ‘Kepulauan Melayu’ (Maleische Archipel; Malay Archipelago; l’Archipel Malais).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942–1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).

Eduard Douwes Dekker (1820–1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga ‘Kepulauan Hindia’ (bahasa Latin: insula = pulau). Pada halaman akhir novel Max Havelaar karya Multatuli tahun 1860, tertulis: Insulinde dat zich daar slingert om den evenaar, als een gordel van smaragd (“Insulinde yang merupakan untaian di khatulistiwa, laksana sabuk zamrud permata”). Tetapi rupanya nama 'Insulinde' ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista!

Pada tahun 1920-an Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879–1950), yang kita kenal sebagai Dr.Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), mempopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata ‘India’. Nama itu tiada lain adalah "Nusantara", suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh Jan Laurens Andries Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian Nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, istilah "Nusantara" digunakan untuk menyebutkan "pulau-pulau di luar Jawa" (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Jadi Nusantara berarti “pulau-pulau seberang”. Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa (“Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat”). Oleh Dr.Setiabudi kata "nusantara" zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli "antara", maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu "nusa di antara dua benua dan dua samudera", sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi Nusantara yang modern. Istilah Nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.

Sampai hari ini istilah Nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah INDONESIA. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.


Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819–1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813–1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (bahasa Yunani: nesos = pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: ". . . the inhabitants of the ‘Indian Archipelago’ or ‘Malayan Archipelago’ would become respectively Indunesians or Malayunesians."

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah ‘Indian Archipelago’ terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: "Mr Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago." Ketika mengusulkan nama ‘Indonesia’ agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama ‘Indonesia’ dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Sebagai contoh, pada tahun 1877 E.T.Hamy menggunakan kata ‘Indonesia’ pada tulisannya dalam Bulletin de la Societe de Geographie di Paris. Lalu tahun 1880 kata ‘Indonesia’ muncul pada tulisan A.H.Keane dalam Journal of the Anthropological Institute di London. Dan pada tahun 1882 W.E.Maxwell di Singapura secara konsisten memakai istilah "islands of Indonesia" dalam buku geografi yang diterbitkannya. Ketiga ilmuwan di atas secara tegas menyebutkan bahwa mereka meminjam nama ‘Indonesia’ dari tulisan-tulisan James Richardson Logan.

Pada tahun 1884, guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826–1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang mempopulerkan istilah ‘Indonesia’ di kalangan ilmuwan Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah ‘Indonesia’ itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain, tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah ‘Indonesia’ itu dari tulisan-tulisan Logan.

Ilmuwan Belanda yang mula-mula memakai istilah ‘Indonesia’ adalah Hendrik Kern dan G.A.Wilken, yang memakai istilah Indonesie dan Indonesier (orang Indonesia) pada tulisan mereka dalam Bijdragen Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (B.K.I.) tahun 1885. Istilah ini dipakai juga oleh Christiaan Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjehers yang terbit tahun 1894.

Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah ‘Indonesia’ adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke Negeri Belanda pada tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.


Makna Politis

Pada dasawarsa 1920-an nama ‘Indonesia’ yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama ‘Indonesia’ akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.

Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi "Indonesische Vereeniging" atau "Perhimpoenan Indonesia". Majalah mereka, "Hindia Poetra", berganti nama menjadi "Indonesia Merdeka".

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya: “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut ‘Hindia Belanda’. Juga tidak ‘Hindia’ saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”

Sementara itu di tanah air Dr.Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia (lahir tahun 1920) berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama ‘Indonesia’.

Pada tahun 1926 berlangsung Kongres Pemoeda Indonesia, lalu berdiri organisasi Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI). Kemudian pada tahun 1927 Bung Karno mendirikan Perserikatan (lalu menjadi Partai) Nasional Indonesia (PNI). Akhirnya nama ‘Indonesia’ dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.

Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama ‘Indonesia’ diresmikan sebagai pengganti nama ‘Nederlandsch-Indie’. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.

Maka kehendak Allah jua yang rupanya berlaku. Pada tanggal 10 Mei 1940 Adolf Hitler dari Jerman menginvasi dan menduduki Negeri Belanda, sehingga Keluarga Oranje-Nassau terbirit-birit mengungsi ke London. Dan dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama ‘Hindia Belanda’ untuk selama-lamanya.

Mencoba menegakkan benang basah, Ratu Wilhelmina melalui siaran Radio Oranje dari London, tanggal 7 Desember 1942, menjanjikan “perbaikan nasib” bagi rakyat Indonesia. Sengaja nenek tua itu memakai kata "Indonesie" dan "Indonesiers" dalam pidatonya untuk mengambil hati rakyat Indonesia. Akan tetapi jarum sejarah tak dapat dikembalikan, dan mantra sakti Je Maintiendrai keburu hilang khasiatnya. Maka pada hari Jumat Legi tanggal 9 Ramadhan 1364 Hijriyah atau 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, lahirlah Republik Indonesia.

sumber; hypoprotika wordpress

Kamis, 27 November 2008

Demokrasi

Demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal . Di jaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. seperti diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara – negara yang diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%) . Demokrasi (Inggris: Democracy) secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yakni Demokratia.
Demos artinya rakyat (people) dan cratos artinya pemerintahan atau kekuasaan (rule). Demokrasi berarti mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja atau kaum bangsawan.

Konsep demokrasi telah lama diperdebatkan. Pada zaman Yunani kuno, demokrasi sebagai ide dan tatanan politik telah menjadi perhatian para pemikir kenegaraan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Plato (429-437 S.M) dan Aristoteles (384-322 SM) tidak begitu percaya pada demokrasi dan menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang buruk. Filusuf kenamaan ini lebih percaya pada monarkhi, yang penguasanya arif dan memperhatikan nasib rakyatnya. Plato dapat menerima demokrasi, jika suatu negara belum memiliki UUD, sedangkan Aristoteles dalam format negara politea, yakni demokrasi dengan UUD atau demokrasi yang bersifat moderen.

Pada abad ke-16, dasar pemikiran kekuasaan raja-raja yang mutlak mengalami pergeseran dari yang bersifat Illahiah menjadi bersifat duniawi kembali. Hal ini ini diawali oleh perlawanan kaum monarchomacha terhadap raja dan gereja di masa abad pertengahan. Pemikiran mereka didasarkan pada keraguan terhadap anggapan bahwa raja-raja dan gereja tidak mungkin melakukan kesewenang-wenangan. Pada tahun 1579 terbit sebuah buku berjudul Vindiciae Contra Tyrannos, yang kemudian dianggap sebagai buku utama yang pertama dari kaum Monarchomacha. Buku ini menganut prinsip kedaulatan rakyat dan menyatakan bahwa meskipun raja dipilih oleh Tuhan, tetapi dia diangkat berdasarkan persetujuan rakyat. Tiada orang yang dilahirkan sebagai raja, tak mungkin seseorang menjadi raja tanpa ada rakyat. Timbulnya pemikiran ini dikarenakan adanya kesewenang-wenangan yang memang terjadi pada masa itu.Dengan adanya pemikiran ini, konsep-konsep agamawi yang tadinya dipakai sebagai dasar, kini bergeser menjadi konsep-konsep duniawi. Akibatnya kaum pembela kekuasaan negara harus memakai prinsip-prinsip yang bersifat duniawi pula untuk membantah pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh kaum monarchomacha, di antara mereka adalah Hugo Grotius (1583-1645M) dan Thomas Hobbes (1588-1679M).

Mereka tidak lagi menggunakan agama sebagai pembenaran bagi kekuasaan negara yang besar, walaupun mereka mengatakan bahwa bila kekuasaan yang besar tidak diberikan kepada negara maka masyarakat akan kacau. Mereka mengakui bahwa kekuasaan negara memang berasal dari rakyat, tetapi kekuasaan itu diberikan justru untuk kepentingan rakyat itu sendiri.Pendapat ini kemudian ditentang oleh John Locke (1632-1704 M), yang juga bertolak dari argumen masyarakat primitif sebelum adanya negara. Tetapi bagi Locke masyarakat tersebut tidaklah kacau, bahkan masyarakat itulah yang ideal, karena hak-hak dasar dari manusia tidak dilangggar. Pemikiran Locke ini diakui sebagai pemikiran yang paling berpengaruh pada pada gagasan mengenai kedaulatan rakyat.

Buku Locke yang berjudul Two Treaties of Government menyatakan bahwa semua pemerintah yang sah bertumpu pada "persetujuan dari yang diperintah". Dengan pernyataannya tentang hukum alam itu, Locke membantah pengakuan bahwa pemerintah, yang pada jamannya ada di bawah kekuasaan gereja, adalah suatu aspek rangkaian takdir Ilahi. Hukum alam identik dengan hukum Tuhan dan menjamin hak-hak dasar semua orang. Untuk mengamankan hak-hak ini, manusia dalam masyarakat sipil mengadakan "kontrak sosial" dengan pemerintah. Pemikiran Locke ini kemudian dikembangkan oleh Charles Louis de Secondat Baron de la Brede et de la Montesquieu (1689-1755M), dalam karyanya The spirit of the law/L’Espirit des Lois (Jiwa Undang-undang), buku XI, Bab 6 tentang Of the Constitution of England (konstitusi Inggris) menyatakan In Every government there are three sort of power; the legislative; the executive in respect to things dependent on the law of nations; and the executive in regard to matters that depend on the civil law . (Dalam setiap pemerintahan ada tiga kekuasaan; kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif daripada urusan-urusan yang berhubungan dengan hukum antar bangsa, dan kekuasaan kehakiman yang berhubungan dengan urusan hukum bagi warga negara). Konsep Pembagian kekuasaan ke dalam tiga pusat kekuasaan oleh Immanuel Kant (1724-1804M) kemudian diberi nama Trias Politika (Tri = tiga; As = poros (pusat); Politika = kekuasaan) .

Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.Secara etimologi, demokrasi (democratie) adalah bentuk pemerintahan atau kekuasaan negara yang tertinggi, dimana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke) rakyat (an) yang terhimpun melalui majelis yang dinamakan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (die gesamte staatsgewalt liegt allein bei der majelis). Sementara Sri Soemantri mendefenisikan demokrasi Indonesia dalam arti formal (indirect democracy) sebagai suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti DPR dan MPR; dan demokrasi dalam arti pandangan hidup menurut Sri Soemantri adalah demokrasi sebagai falsafah hidup (democracy in philosophy). Demokrasi memiliki pengertian yang ambigu serta tidak tunggal. Setiap negara dapat meng-klaim sebagai negara demokratis. Negara seperti Amerika Serikat, disebut sebagai demokratis termasuk negara-negara bekas komunis seperti Uni Sovyet dan negara Eropa Timur.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokratisasi berarti melawan monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menetukan apa yang baik bagi masyarakat. Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria bagi sebuah demokrasi yang ideal, yaitu;
(1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat,
(2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses
pembuatan keputusan secara kolektif,
(3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk
memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis,
(4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk
menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses
pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang
mewakili masyakat, dan
(5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam
kaitannya dengan hukum.



Dahl juga mengajukan tujuh indikator bagi demokrasi secara empirik, yaitu :
1. Control over govermental decitions about policy is constitutionally vested in elected officials;
2. Elected officials are chosen and peacefully removed in relatively frequent, fair dan free
election in which coercion is quite limited;
3. Pratically all adults have the right to vote in these elections;
4. Most adults have the right to run for public offices for which candidates run these elections;
5. Citizens have an efectively enforced right to freedom of expression, the conduct of goverment,
the prevailing political, economy, and social system, and the dominant ideology;
6. They also have acces to alternative sources of information that are not monopolized by the
government or any other single group;
7. Finally they have and effectively enforced right to form and join autonomous associations, including political associations, such as political parties and interest groups, that attempt to influence the goverment by competing in elections and by other peaceful means. Sebagai perbandingan dari indikator yang diajukan oleh Dahl di atas, kalangan ilmu politik Indonesia, setelah mengamati demokrasi di berbagai negara. merumuskan demokrasi dengan menggunakan lima indikator tertentu. Pertama; Akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertangungjawabkan ucapan atau kata-katanya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalankan. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu perilaku anak istrinya, juga sanak keluarganya, terutama yang berkait dengan jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi apa yang disebut “public scrutiny”, terutama yang dilakukan oleh media massa yang telah ada.Kedua; Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai politik yang menang pada suatu pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaan biasanya kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja. Ketiga; rekruitmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut.

Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa orang saja.Keempat; pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanp ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan penghitungan suara. Kelima menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of assembly), dan hak untuk menyatakan pendapat dan digunakan untuk menentukan prefensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Hak untuk berkumpul dan berserikat ditandainya dengan kebebasan untuk menentukan lembaga, atau organisasi mana yang ingin dia bentuk atau dia pilih.

Alfian mendefenisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus. Menurut Alfian, demokrasi memberikan toleransi adanya perbedaan pendapat atau pertikaian pendapat. Perbedaan atau pertikaian itu bisa diartikan sebagai sebuah konflik. Konflik disini tidak mengarah kepada kerancuan demokrasi.Salah satu aksioma dalam sistem politik demokrasi adalah bahwa demokrasi tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya rule of law. Mengapa demikian? Jawabannya tentu tidaklah sulit. Demokrasi yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar seperti hak menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang jelas dan dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan, karena adanya perbedaan-perbedaan dalam hal akses, kemampuan, status, gender, dan kelas sosial dan sebagainya.

Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum, sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil. Guna menjamin tercapainya partisipasi tersebut, tentunya harus dituangkan dalam sebuah ketentuan hukum yang mendasar (baca; konstitusi). Beberapa studi yang pernah dilakukan oleh Mahfud MD menghasilkan kesimpulan bahwa di sepanjang sejarah Indonesia telah terjadi tarik-menarik antar politik yang demokrasi dan politik yang otoriter. Politik demokrasi dan otoriter selalu muncul secara bergantian melalui pergulatan politik yang kadangkala keras. Mahfud menguraikan bahwa dalam teks otentiknya semua konstitusi yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia menetapkan demokrasi sebagai salah satu prinsip bernegara yang fundamental, tetapi tidak semua pemerintahan dan sistem politik yang lahir di Indonesia ini demokrasi, malahan ada kecenderungan bahwa langgam demokrasi hanya terjadi pada awal kehadiran sebuah rezim. Yang tampaknya menentukan implementasi prinsip demokrasi dalam kehidupan bernegara adalah bagaimana demokrasi itu tidak hanya disebutkan sebagai prinsip di dalam konstitusi melainkan dielaborasi secara ketat di dalam konstitusi itu sendiri.

Tujuan utama dari konstitusi ialah membatasi secara efektif kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Tujuan penting dari konstitusi adalah untuk melindungi hak-hak dasar warga negara dari penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara kekuasaan. Kedua tujuan tersebut hanya dapat dicapai jika pengorganisasian kekuasaan negara tidak menumpuk pada satu badan atau satu orang saja. Kekuasaan mestilah didistribusikan. Dengan pendistribusian kekuasaan ke beberapa orang atau lembaga dapat dicegah penyalahgunaan kekuasaan. Maka dari itu istilah konstitusionalisme muncul untuk menandakan suatu sistem asas-asas pokok yang menetapkan dan membatasi kekuasaan serta hak bagi yang memerintah (pemegang kekuasaan) maupun bagi yang diperintah.
Pembahasan konstitusi erat kaitannya dengan sistem demokrasi yang dianut oleh suatu negara. Kebanyakan negara modern sekarang termasuk negara-negara yang baru mencapai kemerdekaan setelah perang dunia II usai telah sejak semua menganut sistem demokrasi konstitusional. Yang menjadi ciri khas demokrasi konstitusional ialah adanya pemerintahan yang kekuasaannya terbatas dan tidak dipekenankan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Pembatasan-pembatasan tersebut tercantum dalam konstitusi. Dalam sistem demokrasi konstitusional, kekuasaan negara berada di tangan rakyat. Pemegang kekuasaan dibatasi wewenangnya oleh konstitusi sehingga tidak melanggar hak-hak asasi rakyat. Antara kekuasaan eksekutif dan cabang-cabang kekuasaan lainnya terdapat check and balance. Lembaga legislatif mengontrol kekuasaan eksekutif sehingga tidak keluar dari rel konstitusi. Oleh International Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, negara-negara yang menganut asas demokrasi disebut juga sebagai representatif government. Adapun yang dimaksud dengan representatif government oleh Internasional Commission of jurist adalah Representative government is a government deriving its power and authority form the people, which the people and authority are exercised through representative freely chosen and responsible to them. Kemudian organisasi para sarjana hukum internasional di atas menentukan pula syarat-syarat adanya representative government atau adanya asas-asas demokrasi dalam suatu negara, yakni :
1. Adanya proteksi konstitusional;
2. Adanya kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak memihak;
3. Adanya pemilihan umum yang bebas;
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat;
5. Adanya tugas-tugas oposisi; dan,
6. Adanya pendidikan civils.


Bahkan pengertian demokrasi seringkali dimanipulasi untuk kepentingan elit-elit penguasa. Dengan alasan untuk melindungi sebagian besar rakyat, para penguasa tidak jarang menindas dan (atau) mengurangi hak-hak rakyat, untuk mempertahankan status quo. Hal ini menunjuikkan bahwa telah menjadi pilihan, tentu saja pilihan terbaik diantara pilihan terburuk yang ada. Masing-masing negara memiliki karakteristik yang berbeda dalam menerapkan demokrasi yang ideal. Ada yang menganut demokrasi liberal, monarkhi konstitusional, demokrasi pancasila dan sosial demokrasi. Sebuah negara menurut Amien Rais, disebut sebagai negara demokrasi jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu;
(1) partisipasi dalam pembuatan keputusan,
(2) persamaan di depan hukum,
(3) distribusi pendapat secara adil,
(4) kesempatan pendidikan yang sama,
(5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan
persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama,
(6) ketersediaan dan keterbukaan informasi,
(7) mengindahkan fatsoen atau tata krama politik,
(8) kebebasan individu,
(9) semangat kerja sama dan
(10) hak untuk protes.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokratisasi berarti melawan monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menetukan apa yang baik bagi masyarakat.

Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria bagi sebuah demokrasi yang ideal, yaitu;
(1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat,
(2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses
pembuatan keputusan secara kolektif,
(3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk
memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis,
(4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk
menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses
pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga
yang mewakili masyakat, dan
(5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam
kaitannya dengan hukum.
Dahl juga mengajukan tujuh indikator bagi demokrasi secara empirik, yaitu :
1. Control over govermental decitions about policy is constitutionally vested in elected officials;
2. Elected officials are chosen and peacefully removed in relatively frequent, fair dan free
election in which coercion is quite limited;
3. Pratically all adults have the right to vote in these elections;
4. Most adults have the right to run for public offices for which candidates run these elections;
5. Citizens have an efectively enforced right to freedom of expression, the conduct of goverment,
the prevailing political, economy, and social system, and the dominant ideology;
6. They also have acces to alternative sources of information that are not monopolized by the
government or any other single group;
7. Finally they have and effectively enforced right to form and join autonomous associations,
including political associations, such as political parties and interest groups, that attempt to
influence the goverment by competing in elections and by other peaceful means.
Sebagai perbandingan dari indikator yang diajukan oleh Dahl di atas, kalangan ilmu politik
Indonesia, setelah mengamati demokrasi di berbagai negara merumuskan demokrasi dengan menggunakan lima indikator tertentu. Pertama; Akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertangungjawabkan ucapan atau kata-katanya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalankan. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu perilaku anak istrinya, juga sanak keluarganya, terutama yang berkait dengan jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi apa yang disebut “public scrutiny”, terutama yang dilakukan oleh media massa yang telah ada.Kedua; Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai politik yang menang pada suatu pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaan biasanya kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja. Ketiga; rekruitmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut.

.Demokrasi telah menjadi istilah yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan sosio-politik yang ideal . Di jaman modern sekarang ini, hampir semua negara mengklaim menjadi penganut paham demokrasi. seperti diketahui dari penelitian Amos J. Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara – negara yang diperbandingkannya, terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%).
Demokrasi (Inggris: Democracy) secara bahasa berasal dari bahasa Yunani, yakni Demokratia.
Demos artinya rakyat (people) dan cratos artinya pemerintahan atau kekuasaan (rule). Demokrasi berarti mengandung makna suatu sistem politik dimana rakyat memegang kekuasaan tertinggi, bukan kekuasaan oleh raja atau kaum bangsawan. Konsep demokrasi telah lama diperdebatkan. Pada zaman Yunani kuno, demokrasi sebagai ide dan tatanan politik telah menjadi perhatian para pemikir kenegaraan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Plato (429-437 S.M) dan Aristoteles (384-322 SM) tidak begitu percaya pada demokrasi dan menempatkan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang buruk. Filusuf kenamaan ini lebih percaya pada monarkhi, yang penguasanya arif dan memperhatikan nasib rakyatnya. Plato dapat menerima demokrasi, jika suatu negara belum memiliki UUD, sedangkan Aristoteles dalam format negara politea, yakni demokrasi dengan UUD atau demokrasi yang bersifat moderen.

Pada abad ke-16, dasar pemikiran kekuasaan raja-raja yang mutlak mengalami pergeseran dari yang bersifat Illahiah menjadi bersifat duniawi kembali. Hal ini ini diawali oleh perlawanan kaum monarchomacha terhadap raja dan gereja di masa abad pertengahan. Pemikiran mereka didasarkan pada keraguan terhadap anggapan bahwa raja-raja dan gereja tidak mungkin melakukan kesewenang-wenangan. Pada tahun 1579 terbit sebuah buku berjudul Vindiciae Contra Tyrannos, yang kemudian dianggap sebagai buku utama yang pertama dari kaum Monarchomacha. Buku ini menganut prinsip kedaulatan rakyat dan menyatakan bahwa meskipun raja dipilih oleh Tuhan, tetapi dia diangkat berdasarkan persetujuan rakyat. Tiada orang yang dilahirkan sebagai raja, tak mungkin seseorang menjadi raja tanpa ada rakyat. Timbulnya pemikiran ini dikarenakan adanya kesewenang-wenangan yang memang terjadi pada masa itu.Dengan adanya pemikiran ini, konsep-konsep agamawi yang tadinya dipakai sebagai dasar, kini bergeser menjadi konsep-konsep duniawi. Akibatnya kaum pembela kekuasaan negara harus memakai prinsip-prinsip yang bersifat duniawi pula untuk membantah pikiran-pikiran yang dikemukakan oleh kaum monarchomacha, di antara mereka adalah Hugo Grotius (1583-1645M) dan Thomas Hobbes (1588-1679M). Mereka tidak lagi menggunakan agama sebagai pembenaran bagi kekuasaan negara yang besar, walaupun mereka mengatakan bahwa bila kekuasaan yang besar tidak diberikan kepada negara maka masyarakat akan kacau. Mereka mengakui bahwa kekuasaan negara memang berasal dari rakyat, tetapi kekuasaan itu diberikan justru untuk kepentingan rakyat itu sendiri.Pendapat ini kemudian ditentang oleh John Locke (1632-1704 M) , yang juga bertolak dari argumen masyarakat primitif sebelum adanya negara. Tetapi bagi Locke masyarakat tersebut tidaklah kacau, bahkan masyarakat itulah yang ideal, karena hak-hak dasar dari manusia tidak dilangggar. Pemikiran Locke ini diakui sebagai pemikiran yang paling berpengaruh pada pada gagasan mengenai kedaulatan rakyat.

Buku Locke yang berjudul Two Treaties of Government menyatakan bahwa semua pemerintah yang sah bertumpu pada "persetujuan dari yang diperintah". Dengan pernyataannya tentang hukum alam itu, Locke membantah pengakuan bahwa pemerintah, yang pada jamannya ada di bawah kekuasaan gereja, adalah suatu aspek rangkaian takdir Ilahi. Hukum alam identik dengan hukum Tuhan dan menjamin hak-hak dasar semua orang. Untuk mengamankan hak-hak ini, manusia dalam masyarakat sipil mengadakan "kontrak sosial" dengan pemerintah. Pemikiran Locke ini kemudian dikembangkan oleh Charles Louis de Secondat Baron de la Brede et de la Montesquieu (1689-1755M), dalam karyanya The spirit of the law/L’Espirit des Lois (Jiwa Undang-undang), buku XI, Bab 6 tentang Of the Constitution of England (konstitusi Inggris) menyatakan In Every government there are three sort of power; the legislative; the executive in respect to things dependent on the law of nations; and the executive in regard to matters that depend on the civil law. (Dalam setiap pemerintahan ada tiga kekuasaan; kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif daripada urusan-urusan yang berhubungan dengan hukum antar bangsa, dan kekuasaan kehakiman yang berhubungan dengan urusan hukum bagi warga negara). Konsep Pembagian kekuasaan ke dalam tiga pusat kekuasaan oleh Immanuel Kant (1724-1804M) kemudian diberi nama Trias Politika (Tri = tiga; As = poros (pusat); Politika = kekuasaan) . Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.Secara etimologi, demokrasi (democratie) adalah bentuk pemerintahan atau kekuasaan negara yang tertinggi, dimana sumber kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan (ke) rakyat (an) yang terhimpun melalui majelis yang dinamakan Majelis Pemusyawaratan Rakyat (die gesamte staatsgewalt liegt allein bei der majelis). Sementara Sri Soemantri mendefenisikan demokrasi Indonesia dalam arti formal (indirect democracy) sebagai suatu demokrasi dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat itu tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti DPR dan MPR; dan demokrasi dalam arti pandangan hidup menurut Sri Soemantri adalah demokrasi sebagai falsafah hidup (democracy in philosophy). Demokrasi memiliki pengertian yang ambigu serta tidak tunggal.Setiap negara dapat meng-klaim sebagai negara demokratis. Negara seperti Amerika Serikat, disebut sebagai demokratis termasuk negara-negara bekas komunis seperti Uni Sovyet dan negara Eropa Timur. Bahkan pengertian demokrasi seringkali dimanipulasi untuk kepentingan elit-elit penguasa. Dengan alasan untuk melindungi sebagian besar rakyat, para penguasa tidak jarang menindas dan (atau) mengurangi hak-hak rakyat, untuk mempertahankan status quo. Hal ini menunjuikkan bahwa telah menjadi pilihan, tentu saja pilihan terbaik diantara pilihan terburuk yang ada. Masing-masing negara memiliki karakteristik yang berbeda dalam menerapkan demokrasi yang ideal.

Ada yang menganut demokrasi liberal, monarkhi konstitusional, demokrasi pancasila dan sosial demokrasi. Sebuah negara menurut Amien Rais, disebut sebagai negara demokrasi jika memenuhi beberapa kriteria, yaitu;
(1) partisipasi dalam pembuatan keputusan,
(2) persamaan di depan hukum,
(3) distribusi pendapat secara adil,
(4) kesempatan pendidikan yang sama,
(5) empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan
persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama,
(6) ketersediaan dan keterbukaan informasi,
(7) mengindahkan fatsoen atau tata krama politik,
(8) kebebasan individu,
(9) semangat kerja sama dan
(10) hak untuk protes.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa demokratisasi berarti melawan monopoli kaum politisi, pejabat dan teknokrat untuk begitu saja menetukan apa yang baik bagi masyarakat .Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria bagi sebuah demokrasi yang ideal, yaitu; (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat, (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif, (3) pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara logis, (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili masyakat, dan (5) pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat yang tercakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Dahl juga mengajukan tujuh indikator bagi demokrasi secara empirik, yaitu :
1. Control over govermental decitions about policy is constitutionally vested in elected officials;
2. Elected officials are chosen and peacefully removed in relatively frequent,
fair danfree election in which coercion is quite limited;
3. Pratically all adults have the right to vote in these elections;
4. Most adults have the right to run for public offices for which candidates run these elections;
5. Citizens have an efectively enforced right to freedom of expression, the conduct of
goverment, the prevailing political, economy, and social system, and the dominant ideology;
6. They also have acces to alternative sources of information that are not monopolized by the government or any other single group;7. Finally they have and effectively enforced right to form and join autonomous associations, including political associations, such as political parties and interest groups, that attempt to influence the goverment by competing in elections and by other peaceful means.Sebagai perbandingan dari indikator yang diajukan oleh Dahl di atas, kalangan ilmu politik Indonesia, setelah mengamati demokrasi di berbagai negara merumuskan demokrasi dengan menggunakan lima indikator tertentu. Pertama; Akuntabilitas. Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya. Tidak hanya itu, ia juga harus dapat mempertangungjawabkan ucapan atau kata-katanya. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku dalam kehidupan yang pernah, sedang, bahkan akan dijalankan. Pertanggungjawaban tersebut tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga menyangkut keluarganya dalam arti luas. Yaitu perilaku anak istrinya, juga sanak keluarganya, terutama yang berkait dengan jabatannya. Dalam konteks ini, si pemegang jabatan harus bersedia menghadapi apa yang disebut “public scrutiny”, terutama yang dilakukan oleh media massa yang telah ada.Kedua; Rotasi Kekuasaan. Dalam demokrasi, peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada, dan dilakukan secara teratur dan damai. Jadi, tidak hanya satu orang yang selalu memegang jabatan, sementara peluang orang lain tertutup sama sekali. Biasanya, partai politik yang menang pada suatu pemilu akan diberi kesempatan untuk membentuk eksekutif yang mengendalikan pemerintahan sampai pada pemilihan berikutnya. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaan biasanya kalaupun ada, hal itu hanya akan dilakukan dalam lingkungan yang terbatas di kalangan elit politik saja. Ketiga; rekruitmen politik yang terbuka. Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen politik yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh beberapa orang saja.Keempat; pemilihan umum. Dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih serta bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya. Dia bebas untuk menentukan partai atau calon mana yang akan didukungnya, tanp ada rasa takut atau paksaan dari orang lain. Pemilih juga bebas mengikuti segala macam aktifitas pemilihan, termasuk didalamnya kegiatan kampanye dan menyaksikan penghitungan suara. Kelima menikmati hak-hak dasar. Dalam suatu negara yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk di dalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat (freedom of expression), hak untuk berkumpul dan berserikat (freedom of assembly), dan hak untuk menyatakan pendapat dan digunakan untuk menentukan prefensi politiknya, tentang suatu masalah, terutama yang menyangkut dirinya dan masyarakat sekitarnya. Hak untuk berkumpul dan berserikat ditandainya dengan kebebasan untuk menentukan lembaga, atau organisasi mana yang ingin dia bentuk atau dia pilih.Alfian mendefenisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus. Menurut Alfian, demokrasi memberikan toleransi adanya perbedaan pendapat atau pertikaian pendapat. Perbedaan atau pertikaian itu bisa diartikan sebagai sebuah konflik. Konflik disini tidak mengarah kepada kerancuan demokrasi.Salah satu aksioma dalam sistem politik demokrasi adalah bahwa demokrasi tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya rule of law. Mengapa demikian? Jawabannya tentu tidaklah sulit. Demokrasi yang mengisyaratkan adanya pelaksanaan hak-hak dasar seperti hak menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan, berkumpul dan berserikat, sudah barang tentu memerlukan adanya aturan main yang jelas dan dipatuhi secara bersama. Tanpa adanya sebuah aturan main yang demikian, maka proses pelaksanaan hak-hak tersebut akan mengalami berbagai hambatan, karena adanya perbedaan-perbedaan dalam hal akses, kemampuan, status, gender, dan kelas sosial dan sebagainya. Dengan menggunakan aturan main yang tidak bias terhadap individu maupun kelompok tertentu, maka akan dapat dicapai semacam kondisi kesetaraan, yakni kesetaraan di muka umum, sehingga masing-masing pihak dapat berpartisipasi secara penuh, terbuka dan adil. Guna menjamin tercapainya partisipasi tersebut, tentunya harus dituangkan dalam sebuah ketentuan hukum yang mendasar (baca; konstitusi).

Beberapa studi yang pernah dilakukan oleh Mahfud MD menghasilkan kesimpulan bahwa di sepanjang sejarah Indonesia telah terjadi tarik-menarik antar politik yang demokrasi dan politik yang otoriter. Politik demokrasi dan otoriter selalu muncul secara bergantian melalui pergulatan politik yang kadangkala keras. Mahfud menguraikan bahwa dalam teks otentiknya semua konstitusi yang pernah atau sedang berlaku di Indonesia menetapkan demokrasi sebagai salah satu prinsip bernegara yang fundamental, tetapi tidak semua pemerintahan dan sistem politik yang lahir di Indonesia ini demokrasi, malahan ada kecenderungan bahwa langgam demokrasi hanya terjadi pada awal kehadiran sebuah rezim. Yang tampaknya menentukan implementasi prinsip demokrasi dalam kehidupan bernegara adalah bagaimana demokrasi itu tidak hanya disebutkan sebagai prinsip di dalam konstitusi melainkan dielaborasi secara ketat di dalam konstitusi itu sendiri.Tujuan utama dari konstitusi ialah membatasi secara efektif kekuasaan pemerintah sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Tujuan penting dari konstitusi adalah untuk melindungi hak-hak dasar warga negara dari penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara kekuasaan. Kedua tujuan tersebut hanya dapat dicapai jika pengorganisasian kekuasaan negara tidak menumpuk pada satu badan atau satu orang saja. Kekuasaan mestilah didistribusikan. Dengan pendistribusian kekuasaan ke beberapa orang atau lembaga dapat dicegah penyalahgunaan kekuasaan.

Maka dari itu istilah konstitusionalisme muncul untuk menandakan suatu sistem asas-asas pokok yang menetapkan dan membatasi kekuasaan serta hak bagi yang memerintah (pemegang kekuasaan) maupun bagi yang diperintah.Pembahasan konstitusi erat kaitannya dengan sistem demokrasi yang dianut oleh suatu negara. Kebanyakan negara modern sekarang termasuk negara-negara yang baru mencapai kemerdekaan setelah perang dunia II usai telah sejak semua menganut sistem demokrasi konstitusional. Yang menjadi ciri khas demokrasi konstitusional ialah adanya pemerintahan yang kekuasaannya terbatas dan tidak dipekenankan bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Pembatasan-pembatasan tersebut tercantum dalam konstitusi. Dalam sistem demokrasi konstitusional, kekuasaan negara berada di tangan rakyat. Pemegang kekuasaan dibatasi wewenangnya oleh konstitusi sehingga tidak melanggar hak-hak asasi rakyat. Antara kekuasaan eksekutif dan cabang-cabang kekuasaan lainnya terdapat check and balance. Lembaga legislatif mengontrol kekuasaan eksekutif sehingga tidak keluar dari rel konstitusi. Oleh International Commission of Jurist dalam konferensinya di Bangkok pada tahun 1965, negara-negara yang menganut asas demokrasi disebut juga sebagai representatif government. Adapun yang dimaksud dengan representatif government oleh Internasional Commission of jurist adalah Representative government is a government deriving its power and authority form the people, which the people and authority are exercised through representative freely chosen and responsible to them. Kemudian organisasi para sarjana hukum internasional di atas menentukan pula syarat-syarat adanya representative government atau adanya asas-asas demokrasi dalam suatu negara, yakni :
1. Adanya proteksi konstitusional;
2. Adanya kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak memihak;
3. Adanya pemilihan umum yang bebas;
4. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat;
5. Adanya tugas-tugas oposisi; dan,
6. Adanya pendidikan civils.

(sumber dari tulisan Firdaus Arifin prog Pascasrjana Unpad)
Bush Akui Kegagalan Intelijen soal Irak

Rabu, 19 November 2008

pria 4 anak


Saya Pria 4 anak denga satu istri yang sudah dinikahi lebih dari 13 tahun, hari-demi hari berlalu begitu cepat kebahagiaan, kesedihan, harapan dan tantangan datang silih berganti seperti bergantinya siang dan malam banyak hikmah yang kami dapatkan banyak kegetiran yang kami rasakan bersama, terutama yang paling banyak kami rasakan nikmat mengasuh anak-anak ada beberapa keindahan yang Allah berikan dan saya Menikmatinya dengan penuh takjub dan tafakur Syukur Alhamdullillah diberikan kesempatan untuk menyaksikan kebesaran Allah dalam keluargaku, saya dapat pelajaran ketika anak pertama lahir bagaimana dia berjuang melawan penyakitnya, hingga dia sembuh lalu saya saksikan bagaimana dia berteman memendam rasa kecewanya, juga bagaimana dia berjuang untuk mendapat sekolah yang ia inginkan ia harus menyisihkan banyak saingan,itu semua saya saksikan dan jadikan pelajaran, anak keduaku yang waktu lahir lebih sehat dan lebih besar ia seorang perempuan mungil yang cantik ia juga tak luput dari cobaan aku saksikan ketabahan yang luar biasa saat dia operasi usus buntu di RS internasional bintaro 6 bulan kemudian ia harus kerumah sakit karena menderiata penyakit tipes sekaligus campak, 6 bulan kemudiaan ia juga kembali harus masuk rumah sakit untuk operasi amandel yang sudah akut yang saya dijadikan contoh dari dia adalah melewati semua itu dengan biasa task pernah menyalahkan siapapun bahkan dia sering bilang kasihan ayah....... pontang-panting cari uang hanya untuk membiayai aku dirumah sakit.... itulah bentuk ketulusan dan empati dari anakku untuk diriku, dia pengertian sekali Alhamdulliah saya punya 4 anak yang besar-besar sangat menngerti dengan keadaan orangtuanya mereka tak pernah menuntut lebih itulah kebesaran Allah untukku dengan menganugrahkan 4 orang anak kepadaku masing-masing memiliki karakter,adat, dan tabiat yang berbeda tapi semuanya lucu-lucu anak yang cerdas baik parasnya Alhamdullillah sempurna semoga Allah menyempurnakan iman mereka dan menjaga mereka hingga mereka dewasa 4 berlian yang Allah titipkan pada saya yaitu;
1. Alby Hastyanto 12 tahun kelas 1 smp.
2. Alya Herolina Alfeini 8 tahun kelas 3 SD
3. Asyifa Haliya Adinda 4 tahun belum sekolah
4. Alfathan Nugraha 6 bulan
itulah anak-anak kami .........

Dewasa


Secara biologis dewasa diartikan mampu melangsungkan keturunan,secara hakiki dewasa diartikan dengan kematangan berpikir yang terlihat dari tingkah laku dan pola tindak dalam melakukan kegiatan...... ada sebuah iklan rokok yang sangat menarik untuk diperhatikan "Tua itu pasti sedangkan dewasa itu pilihan" kalau disimak berati orang yang sudah tua belum tentu dewasa dan orang yang memiliki pikiran dewasa tidaklah harus tua. kata orang bijak maka orang dewasa dapat menggunakan analisisis berpikir yang sistimatisDengan analisis dan tindakan-tindakan yang strategis, berpikir matang sebelum bertindak, maka kita bisa meminimalisir kemungkinan kerugian atau kekalahan. Sebaliknya, dengan berpikir dan bertindak strategis, kita bisa memastikan kemenangan kita. Dalam bidang apa pun. Demikian orang-orang yang memiliki pola berpilir dewasa itu dibutuhkan oleh setiap lembaga celakanya orng-orang itu menjadi barang yang sangat langka sekali, saya yakin mereka dapat membereskan permasalahan yang sel;ama ini tidak beres-beres, mereka bukanlah orang yang terlalu pintar untuk membohongi orang lain, mereka tidaklah lihai mengutak-ngatik laporan keuangan dimana sangat bertumpuk kwitansi2 palsu, mereka tidak pandai memuja-muja atasanya, mereka tidak mampu memberikan hadiah atau sesembahan buat sang atasan, mereka juga tidak bisa memberi pujian-pujian jilatan kepada atasannya tapi mereka bisa berbuat sesuatu yang membawa perubahan bagi lembaga yang sedang dibobroko oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan mudah kalap renungkanlah saudaraku